Bolatimes.com
·7 Maret 2023
Bolatimes.com
·7 Maret 2023
Bolatimes.com - Ada yang menarik di komposisi pemain Cina yang dibawa pelatih Antonio Puche pada Piala Asia U-20 2023 Uzbekistan.
Dari 23 pemain yang dipanggil, pelatih asal Spanyol itu membawa serta 7 pemain yang berlatar belakang suku muslim Cina, suku Uighur.
Satu pemain Afrden Asqer bahkan ditunjuk oleh Puche sebagai kapten tim. Nyatanya kehadiran 7 pemain dari suku Uighur tidak hanya jadi pelengkap.
Iminqari juga berasal dari assist dari pemain asal Uighur lainnya, Afrden Asqer. Aksi kapten Cina ini sebelum memberikan assist kepada Iminqari bahkan dianggap netizen seperti gaya Cristiano Ronaldo.
Tidak hanya mencetak gol, Iminqari juga berperan pada gol kedua Cina yang dicetak oleh Xu Bin. Pada menit ke-72, umpan crossing Iminqari sukses dikonversi menjadi gol oleh Xu Bin.
Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi membuka harapan tim Negeri Tirai Bambu untuk bisa lolos ke babak perempat final. Di partai pertama, Cina harus mengakui keunggulan Jepang.
Sepak Bola dan Suku Uighur
Sepak bola menjadi jalan lain dan harapan bagi sejumlah orang yang terlahir ‘berbeda’. Laporan dari Nathan A Thompson di nytimes.com pada 30 Juli 2017 lalu mengungkap meski para etnis Rohingya mengalami masa suram dalam hidupnya namun sepak bola membuat hidup mereka lebih berarti.
Sepakbola memberi harap dan kekuataan untuk mereka menjalani hidup. “Saat bermain sepakbola, kesedihan dan kemarahan seakan menghilang,” kata Ismail salah satu pengungsi Rohingya yang kini menerap di kamp Bangladesh.
Hal serupa juga dilakukan oleh etnis Uighur, etnis yang tinggal di Xinjiang, Cina dan sudah berpuluh-puluh tahun mendapat aksi diskriminasi dari pemerintah Negeri Tirai Bambu tersebut.
Beberapa waktu lalu, aksi solidaritas ramai dilakukan kepada etnis ini karena tindakan diskriminatif pemerintah Cina lantaran agama Islam yang dianut orang Uighur.
Terlepas apakah benar aksi diskriminatif pemerintah China didasari oleh agama yang dianut orang Uighur, namun faktanya praktek diskriminatif memang terjadi di Xinjiang.
Pesepak bola asal Suku Uighur, Erfan Hezim (Twitter)
Pada April 2018 lalu, salah satu pesepak bola terbaik dari etnis Uighur, Erfan Hezim mendadak ditangkap oleh pemerintah Cina usai ia melakukan perjalanan ke luar negeri.
Dari laporan rfa.org, Erfan yang memiliki nama Ciina, Ye Erfan ialah satu dari jutaan orang Uyghur yang dikirim ke kamp-kamp ‘pendidikan ulang’ pemerintah China.
Publik dunia saat itu tak mengetahui kabar miris ini, pasalnya pemerintah China menangkap Erfan di tengah mata publik dunia tengah fokus menyaksikan laga Piala Dunia 2018.
Awalnya Erfan yang memiliki kontrak profesional selama 5 tahun dengan klub Liga Super China, Jiangsu Suning FC tak diketahui keberadaannya usai mendarat ke China usai melakoni tur sepak bola bersama klunya di dua negara, Spanyol dan Uni Emirates Arab.
Belakangan baru pemerintah Ciina mengatakan ke publik bahwa Erfan memang dikirim ke kamp ‘pendidikan ulang’.
Organisasi pemain profesional, FIFPro yang berpusat di Belanda sampai harus mengirim surat ke pemerintah China terkait keberdaan Erfan. Surat tersebut cukup lama dibalas oleh pemerintah Cina, dan baru Juni 2018 dibalas dengan isi yang menyebutkan Erfan berada di wilayah Jiaochu.
“FIFPro menyerukan pembebasan segera Erfan Hezim dari kamp dan segera dipersatukan kembali dengan keluarganya” tulis rilis resmi FIFPro.
Sebagai informasi, Cina sendiri bukan negara yang pemainnya masuk dalam anggota FIFPro, status Cina di FIFPro hanyalah ‘pengamat’.
Salah seorang mahasiwa hukum asal Cina, Shawn Zhang berhasil menggunakan citra satelit untuk memberikan gambaran visual kamp yang jadi tempat penahanan untuk Erfan dan jutaan orang Uyghur lainnya.
Menurut sumber lokal Uighur, Erfan dianggap bersalah karena mengunjungi negara-negara asing tanpa persetujuan pemerintah pusat, meski alasannya ialah untuk kepentingan profesinal sepak bola, bagi orang Uyghur hal tersebut ialah pelanggaran hukum.
Masih bersumber pada laporan rfa.org, kabarnya selama berada di kamp ‘pendidikan ulang’ tersebut Erfan dan orang Uighur lainnya diadali tanpa sistem pengadilan yang sah, mereka juga dipaksa untuk mengubah keyakinan mereka dan berjanji setia kepada Partai Komunis Cina.
Sejumlah pengamat HAM Internasional sudah menyerukan agar pemerintah Cina mau mengakui bahwa memang terdapat banyak kamp konsentrasi yang mereka dirikan untuk mendidik ulang orang Uighur.
Maya Wang dari Humat Rights Watch seperti dinukil dari The Guardian menyebutkan bahwa lebih dari 1 juta orang Uighur harus masuk ke dalam kamp-kamp tersebut akibat kesalahan yang tidak masuk akal.
Senator Amerika Serikat, Marco Rubio juga sempat mengatakan ke publik bahwa tindakan pemerintah China kepada orang Uighur merupakan penahan massal terbesar dari kaum minoritas di abad ini. Pemerintah Cina sendiri memilih untuk bungkam dengan adanya tuduhan kamp-kamp khusus orang Uighur.
Anak Suku Uighur Belajar Sepak Bola
Meski aksi penangkapan dan penahanan dirasakan oleh banyak orang Uighur tak terkecuali pesepak bola mereka hal tersebut tak menyurutkan anak-anak muda Uighur untuk tetap meniti karier di lapangan hijau.
Laporan Bianca Silva dari majalah Time menyebutkan bahwa sepak bola ialah sesuatu yang lain bagi orang Uighur untuk tetap bertahan hidup dan menunjukkan eksistensi mereka sebagai kaum minoritas dan terdiskriminasi.
Di daerah Meizhou, Barat Laut Xinjiang, terdapat sebuah sekolah sepak bola (SSB) yang diisi oleh anak-anak Uighur.
Di tempat tersebut, tiap sorenya anak-anak Uighur berlatih keras untuk menjadi pemain sepakbola profesional. Bahkan salah seorang anak dari SSB ini, Muradil menyebut bahwa cita-citanya ialah bisa pergi ke luar negeri dan menjadi bintang seperti idolanya, Lionel Messi.
Yang menarik, SSB ini mendapat sokongan dari kaum milineal Cina yang bersimpatik dengan orang Uighur. Sejumlah program bantuan digagas oleh sejumlah mahasiwa Cina untuk menyokong aktifitas para anak Uighur bermain bola.
Yuyang Liu seorang fotografer dan juga bagian dari program SSB ini menyebutkan bahwa saat ini banyak pemuda Cina yan melihat sisi lain dari orang Uighur, praktek diskriminasi yang didapat etnis ini harus dikikis bukan dari pemerintah tapi dari orang-orang Cina itu sendiri, salah satunya dengan program tersebut.
“Saya pikir program ini sangat penting untuk anak-anak Uighur yang pada 2009 menjadi korban kekerasan. Hal ini untuk mengikis jurang antara orang Uighur dengan kami,” kata Liu.
Program yang coba didorong ke SSB ini sendiri mendapat respon cukup positif dari orang-orang tua Uighur.
Memet Zunun seperti dikutip dari chinafile.com mengatakan bahwa sepak bola memang jadi ‘pelarian’ bagi anak muda Uyghur dari tekanan dan aksi diskriminasi.
Zunun mengatakan bahwa sebelum terjadi revolusi Komunis di China, orang Uyghur tiap sholat Jumat di sore hari akan berbondong-bondong datang ke tanah lapangan untuk mengadakan pertandingan sepakbola.
Bola yang digunakan kata Zunun berasal dari kulit domba yang mereka jahit sendiri, pertandingan selesai sebelum adzan Magrib berkumandang.
Di daerah lain Xinjiang, tepatnya di Kizilsu, komunitas Uighur di tempat tersebut berhasil menjadikan sepak bola sebagai bagian dari muatan lokal pendidikan di sekolah dasar kota tersebut.
Pelatih sepak bola di sekolah tersebut, Nasrulla Mijit mengatakan bahwa 9 anak asuhnya saat ini tengah mengikuti program akademi di salah satu klub besar Liga Super China, Guangzhou Evergrande.
Bahkan satu anak dari sekolah ini, Imran pernah menghabiskan waktu selama 1 bulan untuk mengikuti pelatih di Italia bersama klub Juventus. Imran diberangkatkan oleh klub Guangzhou Evergrande.